foto nostalgia ku
Rabu, 24 April 2013
Kamis, 04 April 2013
Kisah St. Petrus Kanisius
Peter,
demikian nama panggilan Santo Petrus Kanisius, duduk termenung seorang diri
dalam kamarnya. Dia sangat ingin mendengarkan dongengan ibunya. Tetapi kini ibu
sedang sakit. Sakit parah…, sangat berbahaya.
Inilah yang
membuat sunyi dan gelap dalam rumah dan dalam hati Peter sendiri, melebihi
kesunyian dan kegelapan alam.
Beberapa
saat kemudian, Peter bangkit dari renungannya, dan pergi menuju kamar ibunya.
Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar itu, sambil berjinjit Peter mendekati tempat
tidur ibu. Ibu sedang tidur agaknya, ….. mukanya pucat pasi. Dengan tidak
diketahuinya air mata meleleh dari dari pipinya. Kemudian berlutulah ia dan
berdoa bagi ibunya yang sangat dikasihi dan dicintainya itu :
“Tuhan, ibu
sedang sakit. Ibu yang selalu merawat dan menyayangi aku. Jika Tuhan mau,
Engkau dapat sembuhkan ibuku. Tapi, yang terutama adalah KehendakMu, ya Tuhan
yang harus terjadi pada ibuku.”
Ayah Peter
yang seorang walikota itu masuk ke kamar. Melihat keadaan yang memprihatinkan
itu, hilang akalnya. Sebab itu tuan walikota hanya keluar masuk kamar saja.
Mukanya muram. Ketika Pastor datang, ayah sedikit tenang. Bapa Pastor membawa
Sakramen Mahakudus dan Sakramen Minyak Suci. Untung ibu masih sadar, dan dapat
mengikuti ucapan Pastor. Dan selama Sakramen Perminyakan Suci itu, ayah
berlutut disamping Peter.
Setelah
selesai semuanya, ibu yang tengah terengah-engah memberi isyarat kepada ayah
sambil menunjuk kepada Peter, bisiknya : “Tinggalah tetap setia terhadap
Agamamu. Didiklah Peter sebaik-baiknya sebagai putra Katolik…” Kemudian mata
ibu terbelak dan pandangannya mengarah ke langit. Dadanya kembang-kempis, makin
lama makin cepat. Tangannya yang dulu rajin bekerja, kini terhantar dikasur tak
berdaya…. Akhirnya ibu telah berpulang. Senyum simpul yang masih terhias
dibibirnya menghibur hati ayah dan Peter.
Karena
selalu teringat pesan yang terakhir itu, Peter dididik ayahnya dengan saksama.
Peter yang nakal dan jenaka itu suka sekali mengagetkan seisi rumah.
Kadang-kadang, atas permintaan sang ayah, guru pun bersikap keras terhadap
Peter. Tetapi pada saat belajar Peter tergolong anak yang rajin. Maka segera
anak itu masuk golongan yang terpandai dikelas. Begitupun adanya selama Peter
bersekolah. Teman-temannya suka bergaul dengan si pemberani yang lucu itu.
Peter terpandai, putera seorang bangsawan kaya tetapi tidak sombong.
Ketika
berumur 14 tahun, Peter menjadi mahasiswa sekolah tinggi di Koln. Waktu itu
kota Koln serta seluruh Jerman Utara sedang mengalami kekacauan. Karena
perbuatan beberapa pengacau, dengan tipu muslihat mereka berhasil menyesatkan
pikiran beribu-ribu orang. Terutama para pemuda-pemudi, yang belum memiliki
pendirian dengan mudah saja dibuat bingung dengan ajarannya yang baru itu.
Tak
mengherankan bila ayah Peter agak khawatir. Dengan berhati-hati dipilihnya
seorang yang beriman teguh untuk diserahinya Peter. Selama belajar di kota
Koln. Demikian seorang imam bernama Eschius, mahaguru di sekolah tinggi
tersebut, menjadi wakil ayah Peter. Dengan sungguh-sungguh serta bermaksud
murni Eschius mendidik dan melatih murid-muridnya. Dengan keras ia menjauhkan
niat serta usaha para pengacau kepada para muridnya.
Nyata pada
mukanya, betapa sedih hati Eschius memikirkan hal ini. Dan berulang-ulang ia
berseru : “Oh puteraku sekalian, ingatlah! Segala sesuatu palsu, kecuali …
mengabdi pada Tuhan secara sejati. Itulah keselamatanmu!” Bertitik-titik
perkataan itu meresap kedalam kalbu Peter. Akhirnya teranglah baginya tugas
hidupnya. Belum lama keluarlah kabar, bahwa bapa Paus telah mengizinkan dan
memberkati suatu perkumpulan bernama “Serikat Yesus”. Peter pun akan memilih
Imamat. Selama hidup ia akan memperjuangkan “Kebenaran” berpanjikan Serikat
Yesus. Setelah lulus dan bergelar “Doktor dalam ilmu filsafat”, Peter pulang
pada ayahnya. Ayah telah menyediakan tugas yang luhur baginya. Peter menunggu
dengan sabar hingga Ayah selesai menerangkan. Digelengkannya kepalanya. “Ayah,
aku telah dewasa kini. Biarkan aku memilih sendiri tugasku. Lagipula berikan
aku waktu agar dapat berpikir”
Ayahnya
yakin Peter akan memilih sebaik-baiknya, Begitu Peter dapat menyiapkan
segala-galanya dahulu sebelum membuka rahasia hatinya. Sekali lagi Peter pulang
ke rumah, yaitu pada saat ayahnya sakit. Peter telah berganti pakaian dan
memakai jubah sebagai seorang Frater dari Serikat Yesus. Ayah yang telah lama
menantikan kedatangan Peter, tak putus asa memandang ke pintu. Tiba-tiba ayah
terlonjak. Itulah Peter! Jantung ayah yang telah lemah tak kuasa menahan lagi
perasaan yang hebat itu. Karena kegirangan melihat Peter, ayah pun jatuh
pingsan. Dan tiada lama antaranya ayah pun berpulang ke rumah Bapa dan belum
sempat berkata sepatah katapun.
Hari itu
bulan Desember tahun 1543. Selalu akan dikenang oleh Peter. Siang malam
berhari-hari lamanya Peter mendoakan ayahnya. Hatinya cemas, karena ayah
berpulang dengan tiba-tiba. Untung Tuhan mau menghibur Peter. Entah bagaimana
caranya Peter mendapat penglihatan : Ayah bersama-sama Ibu dalam surga.
Bulan Juni
tahun 1546 Peter ditahbiskan oleh Uskup dikota Koln. Sekarang Pater Petrus
Kanisius akan dapat mulai memimpin putera-putera Gereja yang tersesat oleh
karena ajaran baru itu. Sebab itu Pater Kanisius menyiapkan dirinya, agar
berkat Tuhan menyertainya. Malam hari setelah berdoa ia mngulangi pelajaran
Kitab Suci. Surat-surat warisan para kudus yang masih tersimpan pun
dipelajarinya dalam-dalam. Waktu untuk tidur! Hanya tinggal beberapa jam saja
dan dini hari, sebelum fajar menyingsing. Pater Petrus Kanisius telah siap dan
akan mengorbankan Misa Kudus.
“Niscaya,
seorang Malaikat Serafin tak akan lebih hormat di altar” kata orang yang hadir
pada misa itu. Siang hari sesudah mengajar di sekolah tinggi, anak-anak yang
bersekolah ditingkat lebih rendah telah menantikan Peter sambil bermain.
Riuh-rendahnya suara membumbung keatas, bergema kemana-mana. Tapi, baru saja
Peter itu tampak anak-anak segera berbaris penuh hasrat mendengarkan
ceriteranya tentang Yesus dan Bunda Maria. Penuh sabar dan tak jemu-jemu Pater
Kanisius melatih pikiran anak-anak itu hingga mereka pandai juga. Meskipun
masih kecil dapat membedakan yang benar dari yang palsu.
Begitu juga
Pater Kanisius mengorbankan waktunya yang terluang bagi orang dewasa yang belum
cukup paham. Lambat laun berkat usahanya itu seluruh kota koln, kaya-miskin,
tua-muda, begitu mencintai Pater Kanisius yang rendah hati itu. Tapi, tidak
hanya kota Koln yang menjadi medan peperangan bagi Pater Petrus Kanisius. Masih
ada banyak kota lain yang membutuhkan prajurit Yesus yang gagah berani itu.
Keadaan kota
Ingolstadt buruk sekali. Gedung yang bertingkat-tingkat tingginya. Tetapi
penghuninya telah melupakan akan sikap dan kewajiban sebagai umat Gereja.
Mereka hanya mengejar yang duniawi semata, mulai dari pembesar hingga yang hina
sekalipun. Begitu pula mahasiswa, mereka sama sekali tidak mengenal aturan, tak
mau belajar. Maka pada tahun 1549 Pater Petrus Kanisius dipindahkan ke sekolah
tinggi dikota Ingolstadt. Sementara itu Pater Kanisius telah mencapai gelar
“Doktor dalam ilmu Ketuhanan”juga.
Waktu Pater
Kanisius untuk pertama kalinya pergi ke sekolah tinggi itu, para professor dan
mahasiswa sekalian telah menantikannya diruang pertemuan yang luas. Nyata
tampak mereka tak senang. Apakah gerangan tindakan Rektor yang baru nanti?...
Itulah Pater Kanisius! Mata hadirin memandang kepadanya. Bukanlah namanya yang harum sudah tiba lebih dahulu di kota Ingolstadt? Agak kurus, matanya cekung, bibirnya terkatup. Raut muka dan gerak badannya menyatakan kepastian , keberanian dan kecerdasan.
Seketika
sunyi senyap. Pater Kanisius mengerti. Kemudian diuraikannya maksud serta
cita-cita yang mendorongnya. “Aku yakin di antara kamu pasti masih ada banyak
yang mengandung benih “Kebenaran”. Maka dengan rahmat Tuhan benih itu akan
tumbuh, menjadi sebatang pohon yang rimbun … menjadi tempat orang bernaung”
Sesaat
serempak suara mereka memecah udara : “Selamat dating Pater!” Pater Kanisius
tersenyum. Di antara para professor itu ada yang masih bermuka suram. Sebulan
kemudian nama Pater Kanisius telah dipuji-puji muridnya. Pada suatu hari kata
Pater : “Siapakah di antara kamu yang suka memperdalam pengetahuan tentang
agamamu, tiap-tiap sore boleh datang ke Gereja.” Tak ada yang menjawab, mereka
hanya berpandang-pandangan saja. Tapi sorenya ada juga beberapa mahasiswa yang
telah menanti di muka Gereja. Pada waktu yang telah ditentukan Pater Kanisius
datang … dan matanya bercahaya kegirangan. Diajaknya mereka masuk … Mulailah ia
dengan pelajarannya.
Sejak sore
itu makin banyak pemuda-pemudi dating, hingga sekolah tinggi kota Ingolstadt
pun merupakan suatu markas “Kebenaran”. Dan distu jualah Konggregasi Perawan
yang pertama di negeri Jerman. Namun, hati Pater Kanisius belum puas. Cintanya
pada Tuhan Yesus, makin hebat berkoar. O, betapa baiknya jika seluruh kota Ingolstadt
kembali kepada ajaran Sang Kristus.
Pater
Kanisius juga mengajar anak-anak kecil. Ya, yang terkecil sekalipun tak pernah
ditolaknya. Pater itu seakan-akan tak pernah merasa lelah. Anak-anak selalu
dengan gembira mendapatkan Pater Kanisius. Ya, mereka telah sukarela
mengorbankan waktunya, lebih suka hadir pada Misa Kudus daripada bermain. Akan
tetapi Pater Kanisius belum juga puas …. Memang para ibu-bapa membiarkan
anak-anaknya. Namun mereka sendiri tak pernah ikut! Orang itu seperti sudah melupakan
jalan yang mengarah ke Gereja. Tak pernah orang dewasa ini merasa membutuhkan
Ekaristi Suci! Pater Kanisius mencari akal … Anak-anak itu dilatihnya berarak,
yang kecil dimuka. Dilatihnya berjalan teratur sambil menyanyi lagu-lagu pujian
seperti pada waktu prosesi. Pada hari raya akan dicobanya akal itu ……..
Hari raya
yang dinantikan Pater Kanisius telah tiba. Terang cuaca seolah-olah meramalkan
suatu hari yang istimewa. Anak-anak akhirnya telah berkumpul di tanah lapang
berpakaian serba putih. Dan para ibu-bapa yang ingin mengetahui apakah yang
dirindukan anak-anak itu. Sudah siap sedia akan menonton di tepi jalan.
Perarakan
dimulai … mereka bergerak secara perlahan. Adalah pita putih yang menunjukkan
jalan kepada ibu-bapa. Suara yang nyaring bagai bunyi lonceng perak yang
mengharukan ibu-bapa. Mereka teringat masa mudanya. Dengan tidak sadar, mereka
telah turut berduyun-duyun mengikuti anak-anak itu masuk kedalam Gereja … Akal
Pater Kanisius berhasil. Semenjak hari itu para ibu-bapa berdamai dengan Tuhan.
Kota Ingolstadt pun sudi menerima ajaran Tuhan.
Seperti sulu yang bernyala serta menjalar kemana-mana. Begitulah semangat Pater Kanisius.
Pada tahun
1552 Pater Kanisius dipindahkan ke Austria tepatnya di ibukota Wina. Para
pembesar dan bangsawan hidup berlebih-lebihan. Pemuda-pemudi hamper semuanya
hanyut oleh kebesaran itu. Pater Kanisius terpaksa harus bergaul dengan para
mulia itu, dapat dan menyaksikan hal menyedihkan itu. Apa gunanya mendidik
dengan susah payah, jika suasana di rumah selalu seperti itu. Dengan cemas
Pater Kanisius mengalami beberapa hal menyedihkan, panggilan Tuhan tak
dihiraukan oleh pemuda karena kongkongan duniawi!
Pater
Kanisius menimbang sebaik-baiknya, lalu bertindak. Disediakannya kolese dengan
asrama terutama untuk para pemuda bangsawan. Mujurlah banyak yang masuk!
Demikian juga yang terjadi pada seminari yang pertama. Tempat dimana calon Imam
dapat dididik dan diselenggarakan dengan teliti. Di kota Wina, Pater Kanisius
dipilih sebagai calon Uskup. Pater Kanisius terkejut mendengar kabar itu.
Dengan rendah hati dimintanya kepada pembesar serta kepada sri Paus.
“Hamba merasa tak sanggup memenuhi derajat yang tinggi itu. Demi Kasih Tuhan biarlah hamba tinggal sebagai seorang Imam biasa” Untung Pater Kanisius ridak dipaksa oleh pembesar, karena kita sekalian masih membutuhkan pertolongan Pater Kanisius.
Para
pengikut agama baru itu makin tersesat. Mereka membenci kepada Paus karena
beliau tak mau mengizinkan yang dimintanya. Mereka memberontak, tak mau pula
mengakui kedudukan Paus. Maka kekacauan pikiran makin hebat di negeri Jerman.
Pater Kanisius telah lama memikirkan bagaimana dapat mencegah malapetaka itu. Untuk para terpelajar sudah tersedia beberapa jalan yang terang yang disusun oleh Pater Kanisius. Tapi rakyat jelata serta anak-anak pun harus tertolong. Lama Pater Kanisius merenungkan hal itu dalam hatinya.
Pater Kanisius telah lama memikirkan bagaimana dapat mencegah malapetaka itu. Untuk para terpelajar sudah tersedia beberapa jalan yang terang yang disusun oleh Pater Kanisius. Tapi rakyat jelata serta anak-anak pun harus tertolong. Lama Pater Kanisius merenungkan hal itu dalam hatinya.
Pada suatu waktu ketika sedang sembayang, tahulah
Pater akan caranya. Ia menulis buku Katekismus! Matanya tajam bagai menembus
pintu tabernakel. Pater Kanisius sedang bersyukur, dan berunding dengan Yesus
tentang Katekismus itu. Bisiknya : “Yesus biarlah Katekismus itu menjadi
senjata yang melemahkan musuhMu. Sebaliknya biarlah Katekismus itu menjadi
perisai sakti bagi mereka yang percaya atasMu.”
Dengan sabar Pater Kanisius mengerjakannya. Buku Katekismus harus sempurna, agar dapat dipakai sebagai pedoman bagi semua orang. Akhirnya buku itu selesai, dan Sri Paus memberkati buku itu. Katekismus itu menjadi pokok yang dipergunakan di seluruh dunia. Jadi yang tersusun oleh Pater Kanisius 350 tahun yang lampau itu, menjadi dasar Katekismus kita yang sekarang juga.
Ketika Pater Kanisius telah lanjut usianya, beliau tak dapat lagi meninggalkan kamarnya. Sehingga menjadi sering sakit-sakitan. Betapa menyedihkan hal itu bagi seorang yang biasa giat berusaha! Namun pahlawan kita tetap mulia. Kesal hati tak sekali membekas keluar.
Pada suatu pagi Pater Kanisius merasa amat lelah. Melihat hal itu Seorang Imam berkata : “Pater, waktunya tinggal sedikit lagi!”
Mendengar itu mata Pater Kanisius bercahaya : “saya telah siap!”
“Saya akan pergi, Doakanlah!” ujarnya pada para Imam yang sedang mengunjunginya.
Seorang Bruder yang menunggu didekatnya, menghibur dan mencoba meringankan derita yang ditanggung Pater Kanisius. Ketika Bruder menanyakan apakah ada permintaan yang terakhir dari Pater, dijawab Pater Kanisius yang suci itu : “Aku tidak ingin apa-apa lagi, bruder, yang saya inginkan hanyalah semoga saya dapat berkumpul dengan Bapa di Surga selekas mungkin!”
Beberapa menit sebelum berpulang, mata Pater Kanisius yang telah kabur memandang kepintu. Sambil menganggukan kepalanya sebagai tanda hormat, beliau berseru : “O lihatlah … Ave Maria!”
Pater Kanisius tak dapat berkata lagi. Jam 3 siang tanggal 21 Desember 1597, Pater Kanisius berpulang. Usianya 76 tahun. Penghuni kota Friburg berkabung, tapi juga bergembira karena makam Pater Kanisius akan menjadi milik kota Friburg.
Pada tahun 1864 Pater Kanisius diberi gelar Beato dan pada tahun 1925 mendapat gelar Santo. Pestanya digelar pada tanggal 27 April. Sampai sekarang jasa beliau masih tetap terdengar didunia. Santo Petrus Kanisius pelindung sekolah-sekolah, kolese-kolese, universitas-universitas dan percetakan. Jangan kau lupakan cintaNya kepadamu. Pelajari baik-baik Katekismus agar sungguh menjadi perisai sakti bagimu.
Labels: Santo Petrus Kanisius
Langganan:
Postingan (Atom)