Powered By Blogger

Kamis, 04 April 2013

Kisah St. Petrus Kanisius



Pada suatu malam nan gelap, bahkan sebuah bintang pun tak nampak.

Peter, demikian nama panggilan Santo Petrus Kanisius, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya. Dia sangat ingin mendengarkan dongengan ibunya. Tetapi kini ibu sedang sakit. Sakit parah…, sangat berbahaya.
Inilah yang membuat sunyi dan gelap dalam rumah dan dalam hati Peter sendiri, melebihi kesunyian dan kegelapan alam.

Beberapa saat kemudian, Peter bangkit dari renungannya, dan pergi menuju kamar ibunya. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar itu, sambil berjinjit Peter mendekati tempat tidur ibu. Ibu sedang tidur agaknya, ….. mukanya pucat pasi. Dengan tidak diketahuinya air mata meleleh dari dari pipinya. Kemudian berlutulah ia dan berdoa bagi ibunya yang sangat dikasihi dan dicintainya itu :

“Tuhan, ibu sedang sakit. Ibu yang selalu merawat dan menyayangi aku. Jika Tuhan mau, Engkau dapat sembuhkan ibuku. Tapi, yang terutama adalah KehendakMu, ya Tuhan yang harus terjadi pada ibuku.”

Ayah Peter yang seorang walikota itu masuk ke kamar. Melihat keadaan yang memprihatinkan itu, hilang akalnya. Sebab itu tuan walikota hanya keluar masuk kamar saja. Mukanya muram. Ketika Pastor datang, ayah sedikit tenang. Bapa Pastor membawa Sakramen Mahakudus dan Sakramen Minyak Suci. Untung ibu masih sadar, dan dapat mengikuti ucapan Pastor. Dan selama Sakramen Perminyakan Suci itu, ayah berlutut disamping Peter.

Setelah selesai semuanya, ibu yang tengah terengah-engah memberi isyarat kepada ayah sambil menunjuk kepada Peter, bisiknya : “Tinggalah tetap setia terhadap Agamamu. Didiklah Peter sebaik-baiknya sebagai putra Katolik…” Kemudian mata ibu terbelak dan pandangannya mengarah ke langit. Dadanya kembang-kempis, makin lama makin cepat. Tangannya yang dulu rajin bekerja, kini terhantar dikasur tak berdaya…. Akhirnya ibu telah berpulang. Senyum simpul yang masih terhias dibibirnya menghibur hati ayah dan Peter.

Karena selalu teringat pesan yang terakhir itu, Peter dididik ayahnya dengan saksama. Peter yang nakal dan jenaka itu suka sekali mengagetkan seisi rumah. Kadang-kadang, atas permintaan sang ayah, guru pun bersikap keras terhadap Peter. Tetapi pada saat belajar Peter tergolong anak yang rajin. Maka segera anak itu masuk golongan yang terpandai dikelas. Begitupun adanya selama Peter bersekolah. Teman-temannya suka bergaul dengan si pemberani yang lucu itu. Peter terpandai, putera seorang bangsawan kaya tetapi tidak sombong.

Ketika berumur 14 tahun, Peter menjadi mahasiswa sekolah tinggi di Koln. Waktu itu kota Koln serta seluruh Jerman Utara sedang mengalami kekacauan. Karena perbuatan beberapa pengacau, dengan tipu muslihat mereka berhasil menyesatkan pikiran beribu-ribu orang. Terutama para pemuda-pemudi, yang belum memiliki pendirian dengan mudah saja dibuat bingung dengan ajarannya yang baru itu.

Tak mengherankan bila ayah Peter agak khawatir. Dengan berhati-hati dipilihnya seorang yang beriman teguh untuk diserahinya Peter. Selama belajar di kota Koln. Demikian seorang imam bernama Eschius, mahaguru di sekolah tinggi tersebut, menjadi wakil ayah Peter. Dengan sungguh-sungguh serta bermaksud murni Eschius mendidik dan melatih murid-muridnya. Dengan keras ia menjauhkan niat serta usaha para pengacau kepada para muridnya.

Nyata pada mukanya, betapa sedih hati Eschius memikirkan hal ini. Dan berulang-ulang ia berseru : “Oh puteraku sekalian, ingatlah! Segala sesuatu palsu, kecuali … mengabdi pada Tuhan secara sejati. Itulah keselamatanmu!” Bertitik-titik perkataan itu meresap kedalam kalbu Peter. Akhirnya teranglah baginya tugas hidupnya. Belum lama keluarlah kabar, bahwa bapa Paus telah mengizinkan dan memberkati suatu perkumpulan bernama “Serikat Yesus”. Peter pun akan memilih Imamat. Selama hidup ia akan memperjuangkan “Kebenaran” berpanjikan Serikat Yesus. Setelah lulus dan bergelar “Doktor dalam ilmu filsafat”, Peter pulang pada ayahnya. Ayah telah menyediakan tugas yang luhur baginya. Peter menunggu dengan sabar hingga Ayah selesai menerangkan. Digelengkannya kepalanya. “Ayah, aku telah dewasa kini. Biarkan aku memilih sendiri tugasku. Lagipula berikan aku waktu agar dapat berpikir”

Ayahnya yakin Peter akan memilih sebaik-baiknya, Begitu Peter dapat menyiapkan segala-galanya dahulu sebelum membuka rahasia hatinya. Sekali lagi Peter pulang ke rumah, yaitu pada saat ayahnya sakit. Peter telah berganti pakaian dan memakai jubah sebagai seorang Frater dari Serikat Yesus. Ayah yang telah lama menantikan kedatangan Peter, tak putus asa memandang ke pintu. Tiba-tiba ayah terlonjak. Itulah Peter! Jantung ayah yang telah lemah tak kuasa menahan lagi perasaan yang hebat itu. Karena kegirangan melihat Peter, ayah pun jatuh pingsan. Dan tiada lama antaranya ayah pun berpulang ke rumah Bapa dan belum sempat berkata sepatah katapun.

Hari itu bulan Desember tahun 1543. Selalu akan dikenang oleh Peter. Siang malam berhari-hari lamanya Peter mendoakan ayahnya. Hatinya cemas, karena ayah berpulang dengan tiba-tiba. Untung Tuhan mau menghibur Peter. Entah bagaimana caranya Peter mendapat penglihatan : Ayah bersama-sama Ibu dalam surga.
Bulan Juni tahun 1546 Peter ditahbiskan oleh Uskup dikota Koln. Sekarang Pater Petrus Kanisius akan dapat mulai memimpin putera-putera Gereja yang tersesat oleh karena ajaran baru itu. Sebab itu Pater Kanisius menyiapkan dirinya, agar berkat Tuhan menyertainya. Malam hari setelah berdoa ia mngulangi pelajaran Kitab Suci. Surat-surat warisan para kudus yang masih tersimpan pun dipelajarinya dalam-dalam. Waktu untuk tidur! Hanya tinggal beberapa jam saja dan dini hari, sebelum fajar menyingsing. Pater Petrus Kanisius telah siap dan akan mengorbankan Misa Kudus.

“Niscaya, seorang Malaikat Serafin tak akan lebih hormat di altar” kata orang yang hadir pada misa itu. Siang hari sesudah mengajar di sekolah tinggi, anak-anak yang bersekolah ditingkat lebih rendah telah menantikan Peter sambil bermain. Riuh-rendahnya suara membumbung keatas, bergema kemana-mana. Tapi, baru saja Peter itu tampak anak-anak segera berbaris penuh hasrat mendengarkan ceriteranya tentang Yesus dan Bunda Maria. Penuh sabar dan tak jemu-jemu Pater Kanisius melatih pikiran anak-anak itu hingga mereka pandai juga. Meskipun masih kecil dapat membedakan yang benar dari yang palsu.

Begitu juga Pater Kanisius mengorbankan waktunya yang terluang bagi orang dewasa yang belum cukup paham. Lambat laun berkat usahanya itu seluruh kota koln, kaya-miskin, tua-muda, begitu mencintai Pater Kanisius yang rendah hati itu. Tapi, tidak hanya kota Koln yang menjadi medan peperangan bagi Pater Petrus Kanisius. Masih ada banyak kota lain yang membutuhkan prajurit Yesus yang gagah berani itu.

Keadaan kota Ingolstadt buruk sekali. Gedung yang bertingkat-tingkat tingginya. Tetapi penghuninya telah melupakan akan sikap dan kewajiban sebagai umat Gereja. Mereka hanya mengejar yang duniawi semata, mulai dari pembesar hingga yang hina sekalipun. Begitu pula mahasiswa, mereka sama sekali tidak mengenal aturan, tak mau belajar. Maka pada tahun 1549 Pater Petrus Kanisius dipindahkan ke sekolah tinggi dikota Ingolstadt. Sementara itu Pater Kanisius telah mencapai gelar “Doktor dalam ilmu Ketuhanan”juga.

Waktu Pater Kanisius untuk pertama kalinya pergi ke sekolah tinggi itu, para professor dan mahasiswa sekalian telah menantikannya diruang pertemuan yang luas. Nyata tampak mereka tak senang. Apakah gerangan tindakan Rektor yang baru nanti?...

Itulah Pater Kanisius! Mata hadirin memandang kepadanya. Bukanlah namanya yang harum sudah tiba lebih dahulu di kota Ingolstadt? Agak kurus, matanya cekung, bibirnya terkatup. Raut muka dan gerak badannya menyatakan kepastian , keberanian dan kecerdasan.
Seketika sunyi senyap. Pater Kanisius mengerti. Kemudian diuraikannya maksud serta cita-cita yang mendorongnya. “Aku yakin di antara kamu pasti masih ada banyak yang mengandung benih “Kebenaran”. Maka dengan rahmat Tuhan benih itu akan tumbuh, menjadi sebatang pohon yang rimbun … menjadi tempat orang bernaung”

Sesaat serempak suara mereka memecah udara : “Selamat dating Pater!” Pater Kanisius tersenyum. Di antara para professor itu ada yang masih bermuka suram. Sebulan kemudian nama Pater Kanisius telah dipuji-puji muridnya. Pada suatu hari kata Pater : “Siapakah di antara kamu yang suka memperdalam pengetahuan tentang agamamu, tiap-tiap sore boleh datang ke Gereja.” Tak ada yang menjawab, mereka hanya berpandang-pandangan saja. Tapi sorenya ada juga beberapa mahasiswa yang telah menanti di muka Gereja. Pada waktu yang telah ditentukan Pater Kanisius datang … dan matanya bercahaya kegirangan. Diajaknya mereka masuk … Mulailah ia dengan pelajarannya.

Sejak sore itu makin banyak pemuda-pemudi dating, hingga sekolah tinggi kota Ingolstadt pun merupakan suatu markas “Kebenaran”. Dan distu jualah Konggregasi Perawan yang pertama di negeri Jerman. Namun, hati Pater Kanisius belum puas. Cintanya pada Tuhan Yesus, makin hebat berkoar. O, betapa baiknya jika seluruh kota Ingolstadt kembali kepada ajaran Sang Kristus.

Pater Kanisius juga mengajar anak-anak kecil. Ya, yang terkecil sekalipun tak pernah ditolaknya. Pater itu seakan-akan tak pernah merasa lelah. Anak-anak selalu dengan gembira mendapatkan Pater Kanisius. Ya, mereka telah sukarela mengorbankan waktunya, lebih suka hadir pada Misa Kudus daripada bermain. Akan tetapi Pater Kanisius belum juga puas …. Memang para ibu-bapa membiarkan anak-anaknya. Namun mereka sendiri tak pernah ikut! Orang itu seperti sudah melupakan jalan yang mengarah ke Gereja. Tak pernah orang dewasa ini merasa membutuhkan Ekaristi Suci! Pater Kanisius mencari akal … Anak-anak itu dilatihnya berarak, yang kecil dimuka. Dilatihnya berjalan teratur sambil menyanyi lagu-lagu pujian seperti pada waktu prosesi. Pada hari raya akan dicobanya akal itu ……..

Hari raya yang dinantikan Pater Kanisius telah tiba. Terang cuaca seolah-olah meramalkan suatu hari yang istimewa. Anak-anak akhirnya telah berkumpul di tanah lapang berpakaian serba putih. Dan para ibu-bapa yang ingin mengetahui apakah yang dirindukan anak-anak itu. Sudah siap sedia akan menonton di tepi jalan.
Perarakan dimulai … mereka bergerak secara perlahan. Adalah pita putih yang menunjukkan jalan kepada ibu-bapa. Suara yang nyaring bagai bunyi lonceng perak yang mengharukan ibu-bapa. Mereka teringat masa mudanya. Dengan tidak sadar, mereka telah turut berduyun-duyun mengikuti anak-anak itu masuk kedalam Gereja … Akal Pater Kanisius berhasil. Semenjak hari itu para ibu-bapa berdamai dengan Tuhan. Kota Ingolstadt pun sudi menerima ajaran Tuhan.

Seperti sulu yang bernyala serta menjalar kemana-mana. Begitulah semangat Pater Kanisius.
Pada tahun 1552 Pater Kanisius dipindahkan ke Austria tepatnya di ibukota Wina. Para pembesar dan bangsawan hidup berlebih-lebihan. Pemuda-pemudi hamper semuanya hanyut oleh kebesaran itu. Pater Kanisius terpaksa harus bergaul dengan para mulia itu, dapat dan menyaksikan hal menyedihkan itu. Apa gunanya mendidik dengan susah payah, jika suasana di rumah selalu seperti itu. Dengan cemas Pater Kanisius mengalami beberapa hal menyedihkan, panggilan Tuhan tak dihiraukan oleh pemuda karena kongkongan duniawi!

Pater Kanisius menimbang sebaik-baiknya, lalu bertindak. Disediakannya kolese dengan asrama terutama untuk para pemuda bangsawan. Mujurlah banyak yang masuk! Demikian juga yang terjadi pada seminari yang pertama. Tempat dimana calon Imam dapat dididik dan diselenggarakan dengan teliti. Di kota Wina, Pater Kanisius dipilih sebagai calon Uskup. Pater Kanisius terkejut mendengar kabar itu. Dengan rendah hati dimintanya kepada pembesar serta kepada sri Paus.

“Hamba merasa tak sanggup memenuhi derajat yang tinggi itu. Demi Kasih Tuhan biarlah hamba tinggal sebagai seorang Imam biasa” Untung Pater Kanisius ridak dipaksa oleh pembesar, karena kita sekalian masih membutuhkan pertolongan Pater Kanisius.

Para pengikut agama baru itu makin tersesat. Mereka membenci kepada Paus karena beliau tak mau mengizinkan yang dimintanya. Mereka memberontak, tak mau pula mengakui kedudukan Paus. Maka kekacauan pikiran makin hebat di negeri Jerman.
Pater Kanisius telah lama memikirkan bagaimana dapat mencegah malapetaka itu. Untuk para terpelajar sudah tersedia beberapa jalan yang terang yang disusun oleh Pater Kanisius. Tapi rakyat jelata serta anak-anak pun harus tertolong. Lama Pater Kanisius merenungkan hal itu dalam hatinya.
Pada suatu waktu ketika sedang sembayang, tahulah Pater akan caranya. Ia menulis buku Katekismus! Matanya tajam bagai menembus pintu tabernakel. Pater Kanisius sedang bersyukur, dan berunding dengan Yesus tentang Katekismus itu. Bisiknya : “Yesus biarlah Katekismus itu menjadi senjata yang melemahkan musuhMu. Sebaliknya biarlah Katekismus itu menjadi perisai sakti bagi mereka yang percaya atasMu.”

Dengan sabar Pater Kanisius mengerjakannya. Buku Katekismus harus sempurna, agar dapat dipakai sebagai pedoman bagi semua orang. Akhirnya buku itu selesai, dan Sri Paus memberkati buku itu. Katekismus itu menjadi pokok yang dipergunakan di seluruh dunia. Jadi yang tersusun oleh Pater Kanisius 350 tahun yang lampau itu, menjadi dasar Katekismus kita yang sekarang juga.


Ketika Pater Kanisius telah lanjut usianya, beliau tak dapat lagi meninggalkan kamarnya. Sehingga menjadi sering sakit-sakitan. Betapa menyedihkan hal itu bagi seorang yang biasa giat berusaha! Namun pahlawan kita tetap mulia. Kesal hati tak sekali membekas keluar.

Pada suatu pagi Pater Kanisius merasa amat lelah. Melihat hal itu Seorang Imam berkata : “Pater, waktunya tinggal sedikit lagi!”
Mendengar itu mata Pater Kanisius bercahaya : “saya telah siap!”
“Saya akan pergi, Doakanlah!” ujarnya pada para Imam yang sedang mengunjunginya.
Seorang Bruder yang menunggu didekatnya, menghibur dan mencoba meringankan derita yang ditanggung Pater Kanisius. Ketika Bruder menanyakan apakah ada permintaan yang terakhir dari Pater, dijawab Pater Kanisius yang suci itu : “Aku tidak ingin apa-apa lagi, bruder, yang saya inginkan hanyalah semoga saya dapat berkumpul dengan Bapa di Surga selekas mungkin!”


Beberapa menit sebelum berpulang, mata Pater Kanisius yang telah kabur memandang kepintu. Sambil menganggukan kepalanya sebagai tanda hormat, beliau berseru : “O lihatlah … Ave Maria!”

Pater Kanisius tak dapat berkata lagi. Jam 3 siang tanggal 21 Desember 1597, Pater Kanisius berpulang. Usianya 76 tahun. Penghuni kota Friburg berkabung, tapi juga bergembira karena makam Pater Kanisius akan menjadi milik kota Friburg.


Pada tahun 1864 Pater Kanisius diberi gelar Beato dan pada tahun 1925 mendapat gelar Santo. Pestanya digelar pada tanggal 27 April. Sampai sekarang jasa beliau masih tetap terdengar didunia. Santo Petrus Kanisius pelindung sekolah-sekolah, kolese-kolese, universitas-universitas dan percetakan. Jangan kau lupakan cintaNya kepadamu. Pelajari baik-baik Katekismus agar sungguh menjadi perisai sakti bagimu.